Pages

Selasa, 17 Mei 2011

Kabut Iman Berduka

Penulis: Ria Yunita

“Gue akan menikah dengan Agnes minggu depan...”
“Agnes Allaniseza?” Suara Awan naik satu oktaf. Sekuat tenaga Bara mengangguk. Awan terdiam, gemeletuk giginya beradu menandakan kemarahannya mulai memuncak. Bara agak gugup, dari awal dia tahu kalau Awan tidak akan setuju dengan keputusannya. Terbukti tak perlu menuggu lama, ia dapat melihat dengan jelas penolakan Awan begitu kata-kata terlontar dari bibirnya. Awan memandang tajam ke arah Bara. Mata mereka beradu, tidak ada yang mau mengalah. Keduanya kekeuh mempertahankan pendapat masing-masing. Awan dengan prinsipnya sementara Bara dengan pilihannya.
“Loe lagi bercanda kan, Bar?” Awan mencoba melunak dan berharap pertanyaannya dijawab anggukan dan senyum Bara yang bertanda kalau kata-katanya cuma joke segar di pagi hari.
Tapi kenyataan seolah mencibir harapan Awan, Bara justru menggeleng kuat sambil berkata, “Gue serius... sangat serius!”
“Gila loe Bar!” Awan menggebrak meja. Panas dingin badan Awan. Kepalanya berdenyut, nafasnya tersengal. Bara hanya diam seperti patung. Ia hanya membiarkan laki-laki di hadapannya itu meluapkan kemarahannya.
“Wan, dengerin gue, gue cinta sama Agnes dan gue berharap loe bisa ngerti.”
“Jangan bodoh Bar! Dari dulu loe tau gue gak pernah setuju kalo loe pacaran sama Agnes apalagi sampe nikah. Dan loe tau kan alasannya. Dia itu berbeda dengan kita, dia itu...”
“Karena dia bukan muslim, itukan alasan loe! Sudahlah Wan, jangan hasut gue untuk menuruti pikiran kolot loe. Buka mata loe lebar-lebar! Gue bukan satu-satunya orang yang menikah dengan wanita beda agama. Semua orang sudah maklum dengan hal ini. Tidak ada yang melarang bahkan mama papa sudah setuju dengan keputusan gue. Hanya loe yang menentang.”
“Gue gak akan pernah setuju. Gue gak ingin loe terperangkap dalam cinta buta loe itu. Sadarlah Bar! Loe sudah melakukan kesalahan besar.”
“Sudah! Cukup! Loe jangan mulai lagi ceramah omong kosong loe itu! Gue bosan dengernya. Gue muak dengan orang-orang sok suci macam loe. Lagi pula apa urusan loe ngelarang gue! Loe gak punya hak nyampurin urusan gue.” Mendadak Bara emosi. Dadanya bergemuruh. Awan terkesiap, tak diduganya Bara bisa berkata seperti itu.
“Bar, loe bicara seolah-olah gue ini bukan siapa-siapa buat loe. Loe masih ingetkan kalo gue ini saudara loe satu-satunya! Di dunia ini gue cuma punya satu saudara Bar, loe! Sebagai abang loe, gue cuma mau loe bahagia, dunia dan akherat.” Awan menekankan kata akherat di akhir kata-katanya. Ia berharap kata-katanya mampu membuka mata hati adik semata wayangnya itu. Tapi rupanya setan lebih pandai menipu. Nasehat kakaknya terdengar bagai ejekan pedas pada pilihannya.
“Memangnya kenapa dengan Agnes? Dia cantik, pintar, kaya, terkenal. Apa lagi? Dan yang paling penting kami saling mencintai. Jadi apa yang salah?”
“Loe salah besar Bar, loe...”
“Udah! stop! Gue gak mau denger lagi. Terserah loe mau bilang apa, gue gak peduli. Lagipula apa urusan loe sama hidup gue. Lebih baik loe urus hidup loe sendiri yang selalu merasa paling benar. Kefanatikan loe emang udah keterlaluan banget! Loe tau gak, loe dan temen-temen mesjid loe itu memang gak tau diri, kalian itu cuma sekumpulan orang sok alim yang selalu merusak kebahagiaan orang lain. Kalian orang-orang sok suci, orang-orang rendahan...”
Plak! Satu tamparan telak memerahkan pipi Bara. Awan benar-benar kehilangan kendali. Untunglah sejurus kemudian ia mampu mengendalikan dirinya. Tubuh tegap itu terduduk lemas dan beristighfar berkali-kali sedangkan Bara tegak mamatung di hadapannya.
“Seribu tamparan loe gak akan membatalkan niat gue.” Kata-katanya datar tapi mampu mengoyak hati Awan.
“Bar, gue mohon pikirkan lagi keputusan loe. Kita ini muslim. Muslim harus berjodoh dengan muslim. Kalo loe melanggar, murka Allah bakalan memenuhi kehidupan rumah tangga loe.”
“Gue gak perduli.” Suara itu begitu dingin, lain dengan Bara yang biasanya selalu hangat dan bersahabat.
“Tapi Bar...”
“Minggu depan gue menikah jam 7 malam. Anggap saja ini undangan buat loe. Terserah loe mau datang atau enggak. Yang penting gue udah ngundang loe.” Bara melemparkan undangan pernikahannya di atas meja lalu segera membalikkan badan dan meninggalkan Awan yang hanya membisu.
***
“Maaf, bukannya gue gak sopan. Tapi gue harus ke mesjid, azan sudah terdengar,” ucap Awan datar.
Naysilla Dominiquelle, gadis indo berambut panjang dan ikal itu hanya tersenyum tipis. Matanya yang berwarna biru tua makin menambah rupawan wajahnya. Sejenak ia terdiam berusaha mencerna maksud dari kata-kata pria tampan di hadapannya. Apa ia bermaksud untuk mengusirku? Apa dia tidak menyukai kedatanganku? Sudah cukup lama mereka tak bertemu, mungkin hampir tiga tahun.
Dulu, segalanya begitu indah. Berkali-kali mereka dipasangkan di beberapa judul sinetron, iklan dan yang terakhir kerjasama disebuah judul film telah mengukuhkan mereka sebagai pasangan serasi di layar lebar. Saat itu tak bisa dipungkiri hati Nay begitu berbunga-bunga bila sepasang mata elang itu menatapnya. Ahh... dulu semuanya begitu indah. Andai saja waktu itu Awan tak memutuskan untuk berhenti dari dunia akting, tentu lakon-lakon yang sering mereka mainkan di layar kaca akan berpindah ke alam nyata. Ahh... andai saja Awan tidak mengenal anak-anak pengajian itu. Jujur, Nay amat merindukan laki-laki ini. Hatinya tak bisa memungkiri kalau ia jatuh cinta pada laki-laki tampan ini, sejak pandangan pertama. Cinta yang tak pernah lekang walaupun terpisah ruang dan waktu.
“Nay...” suara Awan mengagetkan Nay.
“Uups... sorry, gue akan pulang. Tapi... apa boleh kalo lain kali gue dateng lagi?”
“Ehm... boleh aja kalo cuma mau berkunjung.” Awan menjawab tanpa melihat wajah Nay. Sikap yang membuat hati Nay perih. Nay lalu bergegas menuju mobilnya yang terpakir di depan rumah Awan. Perasaannya campur aduk. Awan bahkan tak mengantarnya ke mobil. Tidak seperti dulu, Awan bahkan tak pernah lupa untuk membukakan pintu mobil untuknya. Selalu memperlakukan Nay bak putri raja. Sejenak Nay tertegun di dalam mobil di dalam mobil. Ia memperhatikan sosok tegap itu melangkahkan kakinya ke mesjid. Dia memang mau ke mesjid, hiburnya kepada dirinya sendiri.
Dia makin dingin, fikir Nay sambil mengendarai jazz pinknya. Dinginnya udara di luar seolah mengamini kedinginan hatinya. Ah, betapa kecewanya Naysilla bila teringat sambutan dingin Awan tadi. Hatinya begitu perih menerima kenyataan itu. Nay sudah membayangkan pertemuan yang romantis. Angannya Awan akan tersenyum bahagia, memeluknya erat, mendaratkan ciuman hangat di keningnya, Tapi itu semua hanya sekedar angannya. Hatinya semakin perih menyadari kalau cintanya bertepuk sebelah tangan, batinnya tersiksa. Nay menatap birunya langit di angkasa. Lalu bayangan masa lalu itu hadir. Nostalgia indah itu kembali membayang . Ya, setidaknya dia harus bersyukur karena pernah ada album indah kehidupannya. Kenangan antara dirinya dan pangeran berkuda putih itu, Awan Pratama.....
***
“Duuuhhh... gue rasa gue failing in love deh Nay.”
“Oya... with who? Bara?”
“No, but Awan, his brother.” Naysilla terkejut bukan main. Agnes jatuh cinta dengan Awan? Nay tersenyum hambar. Ternyata dia dan Agnes punya selera yang sama. “Hei, whats wrong with you? Muka loe kusut banget. Oh... ternyata bener dugaan gue kalo loe suka sama Awan.”
“Hei, are you kidding? Bukannya loe yang tadi bilang suka sama Awan?” Wajah Nay memerah. Agnes tersenyum menggoda sahabatnya.
“Loe...apa loe??” Agnes kembali menggoda. “Ya elo Nez.”
“Masa sih? Jangan pura-pura Nay. Loe tu gak bisa bohongin gue. Kita sudah sahabatan dari senior high school, jadi gue bisa baca apa yang ada di dalam hati loe. Jadi loe lebih baik ngaku aja deh!” Kata-kata Agnes telak. Nay tak bisa berbohong lagi.
Naysilla tersenyum malu sementara Agnes tertawa. Jadi bener nih loe gak naksir sama Awan?” Nay memastikan sekali lagi. “Ehmm.. gimana ya? Habis Awannya sudah ditaksir sama sahabat gue sih. Jadi yaa...gue terpaksa naksir sama adeknya saja!” Iiiihh...Nay gemas sekali. Tak kuasa tangannya mulai bergerilya mencubit pinggang Agnes.
“Awas loe yaa...!” lalu mereka berkejaran di ruang TV. Seutas senyum menghiasi bibir Nay. Agnes memang lebih dari sekedar saudara bagi Nay. Kesamaan mereka sebagai anak tunggal telah mengikat erat tali persaudaraan mereka. Mereka memang telah bersahabat sejak masih tinggal di Perancis. Baik Nay maupun Agnes bukan orang Indonesia asli. Ayah masing-masing merupakan warga negara Perancis. Sejak junior high school mereka bersahabat dan mulai meniti karir di negara kelahiran ibunya sampai mereka menjadi artis terkenal di Indonesia. Persahabatan itu begitu manis dan terasa lebih manis saat mereka tahu tahu kalau mereka menyukai dua orang laki-laki yang mempunyai ikatan darah. Begitu bahagianya seandainya ikatan persahabatan itu menjadi ikatan saudara yang sesungguhnya. Ahh... itulah impian mereka. Tapi rasanya impian itu tidak akan pernah terjadi. Hanya khayalan Nay tapi tidak untuk Agnes.
“Hei, apa ini Nez? Loe bakalan nikah dengan Bara? Besok? Yang bener loe?” Agnes mengangguk seraya memeluk sahabatnya itu.
“Iya, Bara udah ngelamar gue. Nah, sekarang giliran loe. Loe harus kejar si Awan sampe dapet.”
“Tapi gue ragu Nez. Awan jadi dingin sama gue. Dia gak pernah terlihat tertarik sama gue. Kayaknya gue sama dia gak bakalan bisa bersatu.”
“Hei, come on! Dont give up. Loe mesti kejer dia sampe dapet.”
“But he doesnt like me. He never shows his love,” jawab Nay pelan.
“Nay, walaupun Bara dan Awan itu bersaudara, karakter mereka jauh berbeda. Awan itu tipe laki-laki yang pasif. Jadi wajar aja kalo loe gak nangkep sinyal cinta darinya.”
“Jadi maksud loe, dia cinta sama gue?” tanya Nay ragu.
“Tentu saja, dari pertama gue sudah merasakannya. Awan itu memang lebih pendiam dan dewasa. Dia seolah-olah gak pernah perduli sama loe padahal dari sinar matanya gue tau kalo dia ada hati sama loe.”
“Gue gak percaya!" Jerit Nay.
“Terserah loe mau percaya atau enggak. Gue tau kalo indera perasa loe memang payah. Tapi ada baiknya loe tanyakan semua sama Bara karena gue juga tau ini dari Bara. Dia gak mungkin bohong.”
“Bener?” Agnes mengangguk meyakinkan sahabatnya itu.
***

“Awan itu munafik Nay, dia berpura-pura gak peduli sama loe padahal gue tau banget kalo dia itu cinta sama loe,” sahut Bara.
“Darimana loe tau?”
“Haloo... apa loe lupa kalo Awan itu abang gue? Dia boleh tertutup sama orang lain tapi dia gak akan bisa ngebohongin gue, adik kandungnya sendiri.Believe me, he really loves you.” Nay Cuma diam. Bar, loe tau gak kalo kata-kata loe itu bikin gue berharap lagi sama Awan. Ahh... Awan, wajahnya kembali terbayang di pelupuk mata Nay.
“Nay...” panggilan Bara menyadarkan Nay.
“Kalo emang dia cinta sama gue, kenapa sekarang dia jadi dingin banget sama gue? Bahkan liat gue aja dia gak mau. Padahal dulu gak kayak gitu.”
“Dia memang jadi aneh sejak berteman dengan anak-anak pengajian itu. Loe bayangin aja, dia sampe berhenti dari dunia akting padahal loe taukan saat itu dia lagi naik daun banget. Dulu loe sama dia sampe dapet best couple kan. Gue aja bangga banget sama abang gue itu. Tapi sekarang dia tinggalin itu semua. Dan loe tau alasannya? Karena menurut dia... jadi aktor itu sebuah kesalahan besar dalam hidupnya! Bukan cuma hidupnya yang salah, hidup gue sekarang juga sering dia protes. Semuanya salah, semuanya dosa. Yang terakhir dia bikin gue kesel karena dia menyalahkan keputusan gue nikah sama Agnes!”
“Why?”
“Karena gue sama Agnes beda agama. Just it!” Suara Bara meninggi saat mengatakannya. Tiba-tiba badan Nay terasa lemas. Beda agama! Jadi itu alasan Awan menetang hubungan Agnes dan adiknya. Otak Nay berfikir, logika berbicara. Jika hubungan Agnes dan Bara saja merupakan suatu kesalahan di matanya, bagaimana dengan cinta mereka berdua? Ahh... segalanya jadi semakin rumit. Hati Nay semakin perih. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.
“Terus, kenapa loe tetap nikah sama Agnes? Padahal jelas-jelas abang loe menentang?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Nay.
“Dia punya hak apa berani ngelarang gue. Dia memang abang gue tapi dia gak punya hak mencampuri urusan pribadi gue, apapun alasannya!"
Lalu mereka terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
***
Hari Pernikahan Bara dan Agnes

Janji itu dimulai. Janji sehidup semati di depan Yesus. Nay begitu iri menyaksikan semuanya. Bara sangat mencintai Agnes dan rela mengorbankan apapun agar bisa mendapatkan gadis pujaan hatinya. Itu semua sudah dibuktikannya dengan mengikuti keyakinan Agnes dan menikah di gereja.
Ya, kemarin Bara resmi menjadi anak Allah. Menjadi bagian dari Nay dan Agnes. Ahh... bisa dibayangkan betapa bahagianya Agnes juga Bara. Bara begitu bahagia walaupun pernikahannya tak dihadiri oleh Awan, abang kesayangannya. Dia bahkan tak mau untuk sekedar menelpon Awan untuk mengulangi undangannya. Mungkin sekarang abangnya itu tidak terlalu penting lagi. Perhatiannya hanya untuk Agnes dan Agnes.
Wan, kenapa loe gak melakukan hal yang sama dengan adek loe. Mungkin Nay berharap terlalu banyak. Jangankan berkata cinta, menoleh pun Awan tak mau.
“Nay, loe kenapa? Kok nangis?” Pertanyaan Agnes di sela-sela pesta pernikahannya membuyarkan lamunan Nay. Nay hanya diam dan Agnes bisa menangkap sinyal kediaman sahabatnya itu.
“Awan?”
Nay hanya mengangguk dan terisak. Buru-buru Agnes menyentuh pundak Nay untuk menenangkan sahabatnya itu. “Gue bingung Nez, gue pengen ngelupain dia tapi gue gak bisa. Semakin gue berusaha melupakan dia, gue semakin cinta.” Isakan Nay semakin menjadi.
“Loe gak bakalan dapet apa-apa dari tangisan loe. Lebih baik loe temuin dia sekarang, loe tanya gimana perasaan dia sama loe selama ini.”
“Tapi...”
“Sekarang... atau loe gak akan pernah tahu!”
***
Awan sangat terkejut melihat kedatangan Nay. Lebih terkejut lagi saat Nay menyerobot masuk ke dalam rumahnya dan menghempaskan tubuhnya ke sofa tamu. Awan kenal betul siapa gadis di hadapannya ini. Gadis yang nyaris sempurna. Cantik, anggun, pintar, terpelajar dan terkenal. Tapi kelakuannya hari ini membuat Awan mengenyitkan dahi.
Beberapa saat Awan terdiam lalu duduk di sofa yang satunya. “Gue gak akan dateng ke sana, percuma loe bujuk gue." Awan bicara tanpa melihat wajah Nay.
"Kedatangan gue gak ada hubungannya dengan pernikahan mereka. Gue datang ke sini buat nanyain satu hal sama loe.” Sekuat tenaga Nay menahan gejolak perasaannya. Dahi Awan berkerut menunggu kata-kata Nay selanjutnya.
”Loe cinta kan sama gue?” Awan terkesima dengan pertanyaan yang dilontarkan Nay.
“Nay...aku...”
“Gue cuma butuh satu kata dari loe. Iya atau tidak!” Awan terdiam lalu bangkit dari sofa dan melihat ke luar jendela. “Kalo emang loe gentle, be honest!” Kata-kata Nay membuat Awan tak bisa mengelak lagi. Apalagi mata Nay tak lepas menatapnya. Mata itu... mata yang dulu membuatnya tergila-gila.
Oups...tepatnya dari dulu sampai sekarang. Ya, sampai sekarang sosok cantik itu masih selalu setia menemani mimpi-mimpinya. Walau sekuat tenaga ia berusaha mengenyahkan bayangan Nay dalam hidupnya, semakin ia tak bisa lepas dari sosok cantik itu. Sosok Naysilla Dominiquelle tak bisa tergantikan oleh perempuan manapun.
“Wan, please... loe jujur sama gue. Gue gak akan berharap lagi kalo emang loe gak cinta sama gue.” Perempuan yang dijuluki boneka Prancis oleh para penggemarnya ini mulai terisak. Ingin sekali Awan menyentuh pundaknya, memeluk dan menenangkannya. Seandainya...
“Gue memang cinta sama loe... Cinta banget! Tapi gue sadar kalo itu semua gak mungkin karena...”
“Karena kita beda agama, itu kan alasan loe? Wan, gue cinta banget sama loe. Gue rela pindah agama demi loe. seperti yang Bara lakukan untuk Agnes.” Awan terkesiap, shock bukan main. Jantungnya berdetak cepat. Bara pindah agama?Astaghfirullah! Sebegitu buta kah Bara oleh cintanya pada Agnes sampai-sampai dia melepaskan cinta yang agung dari Sang Pemilik Bumi. Marah rasanya sudah tak berguna lagi. Yang ada hanyalah senyum sinis yang dengan cepat berubah menjadi tawa sinis yang menertawakan kata-kata Nay yang terdengar begitu bodoh di telinganya.
“Loe ngetawain gue?”
“Itulah perbedaan gue sama loe.”
“Maksud loe?”
“Loe rela mengorbankan iman buat dapetin cinta gue, cinta yang akan lenyap bila maut datang menjemput. Sedangkan gue, gue rela mengubur dalam-dalam cinta gue sama loe untuk mendapatkan cinta yang jauh lebih indah, cinta yang jauh lebih tinggi dan abadi. Cinta gue sama islam, sama Allah Swt.”
“Tapi Wan...”
“Cukup!”
“Gue cinta loe tapi gue lebih cinta sama agama gue. Gue harap loe bisa ngerti.”
Nay terdiam, air matanya mengalir deras. Nay menangis tanpa suara. Tak lama ia beranjak dari sofa dan buru-buru keluar dari rumah Awan. Sesak nafasnya, perasaannya campur aduk antara lega dan sakit. Lega karena dia akhirnya tahu kalau Awan memang mencintainya. Tapi rasa lega itu berubah menjadi rasa sakit saat tahu ada cinta lain selain dirinya. Cinta yang kata Awan akan abadi dan tak akan pernah sirna.
Mobil Nay melaju meninggalkan harapannya untuk bisa bersatu dengan sang pangeran hati. Sementara Awan hanya terdiam, tanpa ia sadari bulir bening itu jatuh perlahan. “Maafkan aku Nay, aku hanya menempatkan cintaku pada porsinya. Aku harap kamu mengerti.” Awan mendongak ke atas melihat langit. Langit mendung dan suram seolah tertutup kabut, kabut iman Awan yang berduka atas hilangnya iman Bara...dan mungkin juga Nay. Kabut yang menutupi hati dua insan yang patah hati. Begitu menyakitkan. Mengoyak hati.
***

0 komentar:

Posting Komentar