Pages

Selasa, 17 Mei 2011

KEMILAU CAHAYA CINTA

Penulis: Adi Zamzam

Bukan karena wajah aku mencintaimu, Cinta. Bukan pula karena rasa yang menyayat ketika raba-rabamu tersungkur saat tersandung sesuatu.
“Mas Aam cuma kasihan kepada saya.”
Kubilang sekali lagi, tidak, ini bukanlah rasa iba.
“Biasanya memang seperti itu. Dari iba, mereka lantas menyukai saya, mau melakukan apa saja demi menolong saya.”
Tapi aku bukan mereka, Cinta. Aku pengecualian dari mereka.
“Jangan begitu, Mas.”
Kenapa?
“Aku tak sebanding dengan Mas. Yang lainnya kan banyak.”
Tak sebanding? Apa yang membuatmu merasa tak sebanding?
“Apa Mas tak lihat bagaimana diriku ini? Carilah orang yang bisa memuji ketampanan Mas. Carilah orang yang tahu arah dan tahu jalan.”
Sudah kubilang cintaku bukan karena wajah, Cinta. Bukan pula jika kau memuji segalaku.
“Lantas karena apa, Mas?”
Justru karena kau tahu arah dan tahu jalan.
* * *

Sebelum cahaya bangun, aku tahu kau sudah mendahuluinya. Kau buka harimu dengan sekeranjang do’a dalam tahajjud dan dzikir panjang jelang fajar. Setelah cahaya bangkit, kau pun tak sungkan mengangkat langkah meski tertatih dari Panti menuju toko bunga Mas Catur. Kau layani para pelanggan dengan senyum indahmu. Pertamakali melihatmu, sungguh, aku begitu penasaran bagaimana caramu melayaniku nanti.
Ternyata kau melihat dengan bau. Aku memujimu dengan hati ketika kau dengan mudah memilihkan mawar, untai melati, lili, aster, kembang kertas, padahal kau tak pernah melihat rupa keindahan mereka. Bahkan yang belum berbunga pun kau bisa melihatnya dengan tangan.
“Gampang kok Mas. Mas Catur lah yang mengajariku. Kalau mawar kan punya duri. Daunnya juga memiliki duri-duri halus. Kembang kertas daunnya agak kasar, dan batangnya keras. Lidah buaya jelas paling mudah dikenali. Semuanya memiliki bentuk dan ciri khas masing-masing, Mas. Persis seperti manusia, hehe…”
Benarkah itu? Aku lumayan terkejut ketika ternyata kau memang bisa menciri bau manusia. Kau bisa mencium bau kedatanganku ketika ketiga kalinya aku menyambangi toko bunga ini.
“Itu yang paling susah, Mas. Butuh bertahun-tahun aku memepelajari ini. Membedakan kaki kiri dan kaki kanan. Menghafal gerak-gerik bunyi. Tapi aku masih sering salah-salah kok. Kebetulan saja langkah Mas Aam mudah dikenali. Maaf, sepertinya… kaki Mas, cacat?”
Entah mengapa aku tak tersinggung saat kau menyematkan kata terkutuk itu untukku. Kau harus tahu, Cinta, masa-masa awal setelah kecelakaan itu, kupikir duniaku kiamat sudah. Amri Anom yang jago sepak bola dan hobi ngebut di jalanan sudah tamat karena kaki kanannya yang begitu lincah harus diamputasi. Berbilang bulan aku marah kepada takdir. Berbulan-bulan aku tak mau menjumpai cahaya. Bahkan sekolah pun terpaksa kuhentikan. Buat apa? Apa ada klub sepak bola atau perusahaan hebat yang akan sudi melirik si kaki satu?
Hahaha… kau boleh tertawa saat kuceritakan bahwa aku pernah membanting-banting kaki palsuku ini saat pertamakali berkenalan dengannya. Hah, apa indahnya hidup dengan sebelah kaki palsu? Celana panjang akhirnya menjadi tempat persembunyianku.
“Lalu, bagaimana ceritanya ketika akhirnya Mas bisa menerima keadaan buruk itu?”
Menerima? Bahkan untuk sampai ke toko ini pun karena terpaksa. Lili, adikku, bercerita tentangmu. Mulanya aku tak percaya dan menganggap Lili hanya mengarang cerita saja—apalagi dia memang tukang ngarang cerita. Musibahku saja disulap jadi cerpen! Saat dia menunjukkan majalah yang memuat takdir terkutukku, langsung kusobek-sobek! Dia tak menangis. Lalu dia pun menceritakan dirimu, Cinta. Sosok yang katanya selalu memberinya inspirasi tak bertepi ketika imajinasinya mengalami kemarau. Lili bilang sosokmu tak jauh dari rumah kami.
“Iya, Mas. Aku memang baru tiga tahun bekerja di toko bunga Mas Catur ini. Wah, itu berarti berbarengan dengan musibah Mas itu ya?”
Iya, Cinta. Aku butuh tiga tahun untuk berani mengakui nasib. Sedangkan kau?
“Aku telah cacat sejak lahir, Mas. Tapi Bapak pernah cerita bahwa aku pernah diobatkan ke mana-mana. Tawakkal adalah obat mujarab, Mas.”
Cinta, apakah salah kalau aku berpikir bahwa Dia egois?
“Dia memang egois, Mas. Tapi keegoisan-Nya selalu untuk kebaikan kta. Adakah makhluk yang sempurna, Mas? Kecacatan hanyalah petunjuk untuk kita bisa melihat Kesempurnaan-Nya. Agar kita juga bisa saling mensyukuri apa yang sudah diberi.”
Saat kau meraba-raba Braille terpatah-patah mengeja Al Qur’an, sungguh wajahku tertampar malu.
“Aku ingat sebuah surah yang mungkin bisa jadi penghibur Mas Aam.”
Iya, hancurkanlah batu dalam dadaku ini, Cinta.
“Surah At Tiin, Mas. Kecacatan fisik itu sebenarnya tak ada. Yang ada hanyalah amal perbuatan kita, karena semua itulah yang dilihat-Nya.”
Itulah kemilau cahayamu, Cinta. Takkah kau sadari itu? Bukan, rasaku ini bukan serupa rasa iba, tapi benar-benar karena terpikat cahayamu itu. Aku ingin, pendampingku kelak, adalah dirimu yang memiliki cahaya itu. Agar aku tak sering-sering tersesat, agar anak-anakku memiliki penuntun, agar hari-hari dalam rumahku selalu benderang.
Aku tak sedang umbar bualan, Cinta. Iya, sekarang aku memang masih seorang pengangguran, tak memiliki penopang hidup yang kuat. Tapi, kemilau cahayamulah yang akan aku jadikan penyemangat. Segera, setelah aku berhasil mengumpulkan semua persyaratannya, akan kunobatkan kau sebagai ratu istanaku.
“Landasilah semua rasamu hanya karena-Nya, Mas. Agar Mas tak terlalu kecewa jika ada yang tak sesuai harapan.”
Betapa buncahnya hatiku mendengar kalimatmu itu, Cinta.
* * *

Tiba-tiba saja aku tak menemukanmu di toko bunga itu lagi. Kehawatiran berkecambah menjadi ketakutan. Jangan-jangan kau telah disunting si perindu cahaya yang lain!
“Kurang lebih sebulan yang lalu dia bilang tak enak badan, Mas,” jawab Mas Catur. “ Tapi sampai hari ini dia tak pernah datang lagi. Bahkan dia hanya menitip kata sakit kepada orang Panti.”
Kecelakaan kah? Hatiku sungguh dihantui cemas.
“Aku tak tahu, Mas. Tapi orang Panti bilang, Nur pulang ke rumah orang tuanya di kampung.”
Pulang? Kenapa, Cinta? Janjiku dua bulan silam bukanlah bualan. Ketahuilah, sebulan ini aku sudah hidup dari gajiku sebagai penjual buah di ibukota.
Demi rasaku ini, akan kucari bayangmu, Cinta. Meski bapak ibuku melarang. Meski Panti bilang tak punya alamat lengkapmu.
* * *
Sebuah rumah mungil yang tak bisa disebut layak. Itukah istanamu, Cinta? Menyempil di sudut sunyi sebuah desa yang amat miskin. Seorang lelaki berumur, langkahnya terpincang-pincang, menyambut kedatanganku dengan penuh hormat. Aduh, aku begitu trenyuh saat bapakmu berkali menyuguhkan kata terima kasih karena aku telah sudi mampir ke gubug reotnya. Beliau belum tahu bahwa aku adalah gelap yang ingin membasuh diri dari warna hitam dengan kemilau cahaya putrinya.
“Anak ini, ada perlu apa dengan Nur?”
“Dia tak pernah cerita tentang saya kepada Bapak? Nama saya Aam, Pak. Kami teman dekat sewaktu Nur masih bekerja di toko bunga.”
Lelaki itu menggeleng. Ah, bodohnya aku. Buat apa Cinta menceritakan semua bualanku. Ia pasti masih menganggapku tak serius. “Nur di mana, Pak?” cecarku karena tak juga kulihat kelebat bayangnya.
Wajah lelaki itu tiba-tiba tersaput mendung, “Ada, sebentar.”
Petir itu menyambar tanpa didahului gerimis. Kulihat tubuhmu tergeletak bak kain lusuh teronggok tak berbentuk. Meski terhalang selimut, tapi pandang mataku bisa menembusnya, dan lalu menggambar dalam otakku bahwa kedua kakimu…bersilang, bengkok?
“Aku tak tahu kenapa akhirnya jadi seperti itu, Mas. Padahal mulanya aku cuma lemas dan kehilangan daya. Bagaimana Mas bisa sampai ke sini? Padahal Mas Catur dan Panti sudah kuwanti-wanti untuk jaga mulut.”
Kau masih juga memamerkan seleret senyum. Apa aku harus menghiburmu? Kau seperti tak butuh dihibur? Entah makhluk macam apa kau itu. Entah berisi apa hatimu itu.
“Terserah Allah saja, Mas. Kita tinggal menerimanya. Kata dokter, aku punya kelainan syaraf. Mula-mula penyakit itu mengambil mataku, lalu jari-jemariku, dan sekarang kakiku, Mas.”
Kau masih juga terlihat seperti tanpa beban, seolah semua itu bukan apa-apa bagimu. Itulah yang membuatku jatuh hati padamu, Cinta. Jiwa sepertimulah yang ingin kujadikan sandaran hati.
“Jangan, Mas. Aku telah rela menerima keadaan ini. Tapi aku tak rela menerima rasa Mas itu.”
Kenapa? Kau merasa rendah diri setelah semua ini?
“Aku hanya akan menjadi beban Mas Aam. Apa Mas tak lihat keadaanku ini? Jangan hanya karena ingin memegang ucapan, ingin dibilang jantan, Mas lantas berbuat konyol. Itu namanya Mas bunuh diri.”
Baiklah. Akan kubuktikan keseriusanku. Akan kubuktikan bahwa aku tidak sedang bunuh diri. Aku sadar sesadar-sadarnya. Aku akan pindah kerja ke tokonya Mas Catur. Biarlah kecil gaji, asal tiap minggu aku bisa menengokmu di sini.
* * *

Apa yang terjadi denganmu, Cinta? Tiba-tiba saja kau terlihat selalu berlinang air mata.
“Pulanglah, Mas. Jangan buang waktu berhargamu.”
Bukankah itu hakku, Cinta? Mau kukemanakan rasaku ini, bukankah itu hakku?
“Emakku dulu juga mati karena penyakit ini. Apa Mas tega jika salah satu atau bahkan semua keturunan Mas menuruniku?”
Hei, kau telah buruk sangka kepada-Nya, Cinta! Apa kau tak percaya keajaiban? Mas Paeno, yang satu panti denganmu dulu, bukankah istrinya juga seorang tunanetra? Bukankah kau juga mengenal kedua anak mereka yang rajin-rajin dan sangat berbakti itu? Mereka semua normal, Cinta! Tak ada yang menuruni kedua orang tuanya! Ada apa dengan bening hatimu?
“Tapi penyakitku beda, Mas. Aku mendapatkannya dari emakku. Dan aku juga akan mewariskannya kelak. Itulah kenapa aku menolak cinta Mas Aam sedari awal.”
Hahaha… berani sekali kau mendahului Tuhan.
“Tidak, Mas. Allah punya aturan-aturan sunnatullah yang tak boleh kita abaikan.”
Kau tak percaya do’a?
“Percaya. Bahkan setiap hari aku berdo’a agar Mas tak memperturutkan nafsu Mas itu.”
Cinta!!
“Ya, Mas. Itulah yang membuatku sering menangis. Aku telah menyusahkan orang lain. Kuharap Mas mau memaafkan semua kekhilafanku.”
Adakah orang yang tak menyusahkan orang lain, Cinta?
“Sudahlah, Mas.”
* * *

Setelah kepergianmu, sering aku berpanjang-panjang pikir. Apa guna Tuhan menciptakan keberadaanmu? Iya, tentu saja kau adalah cahaya yang menjadi lantaran aku menuju jalan terang. Kau harus tahu, sekarang aku begitu terobsesi dengan hawa yang setidaknya memiliki kemilau cahaya sepertimu. Namun, ada satu tanya yang masih berkeliaran tak mau tenang dalam kepalaku. Apa guna Tuhan membuat umur pendek buatmu?
“Dia memang egois, Mas. Tapi keegoisan-Nya selalu untuk kebaikan kita…” kata-katamu terus bergaung menentang keraguanku.
* * *


Kalinyamatan, Januari 2011.

0 komentar:

Posting Komentar