Pages

Selasa, 17 Mei 2011

KAFIYEH MERAH

Penulis: Maryam Qonitat
Beyrouth, Lebanon
Namanya sebagai calon pengacara handal sedang dipertaruhkan. Ia kini berada dalam kondisi dilema antara idealisme yang selama ini ia perjuangkan dan kenyataan pahit yang ada di hadapannya. Waktu yang diberikan kepadanya sangatlah sempit. Tiga Hari. Ya, tiga hari untuk menentukan apakah ia akan menerima tawaran kasus itu atau menolaknya.
Sungguh, ini adalah tawaran yang sangat sulit untuknya, karena selama ini ia yang dikenal sebagai mahasiswi idealis, Base on the Fact, dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia khususnya kaum yang tertindas, selalu menjadi sorotan para dosen dan kawannya sesama mahasiswa di Fakultas Hukum tempat ia sedang kuliah.
Ia pun terkenal sebagai pengacara yang sangat kuat berlogika. Meski perempuan, tapi hampir setiap dari argumen-argumen yang ia lontarkan selalu dapat mematahkan lawan bicaranya. Logika-logikanya selalu dapat diterima oleh para Hakim dan dewan juri di hampir setiap Praktek sidang yang ia ikuti. Klien-kliennya pun jarang sekali merasa di rugikan olehnya. Haknya selalu ia perjuangkan dengan keras dan maksimal.
Tapi kali ini? Memperjuangkan suatu hal yang bertentangan dengan keyakinannya? Memperjuangkan sesuatu yang jauh dari ideologinya? Memperjuangkan sesuatu yang ia tidak ketahui kebenarannya? Memperjuangkan sesuatu yang menurutnya tak lagi bisa dibincangkan dengan logika? Ia tidak tahu apakah ia akan sanggup menjadi pengawal dalam kasus itu?
Ini bukan lagi tentang siapa yang salah dan siapa yang benar,ini bukan lagi tentang hak-hak asasi manusia yang dulu sering ku perjuangkan… tapi jika bukan tentang itu semua , lalu tentang apa ini ?Batinnya dalam hati.
Ia kemudian memejamkan mata sejenak, mengurut kepala dan rambut hitam panjangnya yang kini sudah terurai dan tak tersisir dengan rapi. Bayangannya tiba-tiba saja mendarat pada sosok pria berwajah kukuh, bersih nan teduh itu…
Apakah ini karena dia? Karena keberadaannya yang belakangan waktu ini sangat menyita pikiran dan perasaanku? Naifnya aku yang tak bisa juga memutuskan semua ini. Betapa lemahnya aku. Bukannya ini semua sudah sangat jelas? Hitam dan putih.
Ia sering berada dalam kondisi kalut dan bingung, tapi Pertarungan batin yang dialaminya kali ini tidak pernah mengalami goncangan emosi sedahsyat ini. Tak terasa, air mata yang sangat jarang keluar dari matanya, saat itu mengalir dan tak bisa dihentikan. Ia tergugu dalam kebimbangan. Ia tersedu dalam kekalutan. Luluh semua kekerasan hatinya yang selalu ia tampakkan di depan orang lain. Lantak semua ketegasan jiwanya yang selalu ia perlihatkan pada semua orang yang mengenalnya.
Semua nasib mereka ada di tangannya. Dan ia yang harus menentukan, tidak bisa orang lain. Maka malam itu adalah malam awal yang akan menentukan arah hidupnya selanjutnya. Ia hanya tidak tahu itu, dan benar-benar tidak tahu.
*******
Beyrouth, Lebanon, Juni 2005
Ia tak dapat menahan rasa kantuk yang menyerangnya beberapa menit lalu, dan rasa lapar yang melilit lambungnya. Maka pada saat Nissan X-Trail hitamnya memasuki pelataran parkir rumah, ia langsung menghambur ke ruang makan dan membuka hidangan yang memang sudah sengaja disiapkan untuknya.
Hanya butuh waktu beberapa menit baginya untuk menyantap sebagian makanan yang ada di hadapannya itu. Tak peduli pada penampilannya yang sudah terlihat kusut masai tak beraturan. Yang ia butuhkan hanya makan dan istirahat. Setelah itu, malam nanti ia harus kembali mempelajari semua bahan yang akan ia butuhkan untuk pertarurangan esok hari.
Setelah menyelesaikan santapan sorenya, ia bergegas memasuki kamar tidurnya yang berukuran Deluxe itu. Bermandikan air hangat, 10 menit sesudahnya ia sudah tertidur pulas tak sadarkan diri.
20.00 waktu setempat, ia terbangun dengan ketukan halus yang mendarat di pintu kamarnya.
“Honey, kamu sudah pulang sayang?” Sapa suara lembut seorang wanita di balik pintunya.
“Ya Mam... Aku sudah pulang,” jawabnya dengan setengah sadar.
Pintu terdengar dibuka. Melangkahlah wanita paruh baya yang sangat cantik dan anggun, memasuki kamarnya. Wanita cantik itu kemudian duduk di sampingnya dan membelai kepalanya dengan sangat lembut.
“Kamu capek sekali kelihatannya “
“Iya Mah, hari ini kasus lagi…” balasnya dengan suara yang berat.
“Ya sudah, kamu tidur lagi, besok pagi Mamah bangunin yah...”
“Nggak Mah, Reema mau bangun sekarang, masih ada yang harus Reema siapkan.”
“Harus malam ini ya?”
“Iya, harus malam ini, Mah, kalau nggak besok Reema kewalahan.”
“Kalau gitu Mamah siapkan susu hangat dulu ya untukmu. Nanti Mamah suruh bawakan Zarkha ke kamarmu. Jangan terlalu larut ya, nanti kesehatanmu drop jika terus-terusan seperti ini.”
“Iya Mah...” Posisinya sudah setengah duduk, namun masih dengan selimut.
“Dah ya sayang, malam. Mamah istirahat dulu,” Sebelum berlalu, wanita cantik paruh baya itu kembali mencium keningnya.
Kesadarannya segera pulih kembali setelah susu putih hangat yang dibawakan pembantu wanita bernama Zarkha itu ia teguk habis. Selang sekian menit sesudahnya, ia sudah terpekur di meja belajarnya yang sangat luas. Buku-buku tebal tampak berserakan di atasnya, tidak tertata. Sebagian masih dalam posisi setengah terbuka, sebagian berada dalam posisi terbalik.
Dibukanya buku-buku yang berada dalam posisi setengah terbuka yang tadi pagi ia tinggalkan sebelum pergi ke Kampus. Ditemani sebuah Notes Vaio putih, ia merekam kembali semua materi-materi yang sudah tadi disampaikan oleh guru besarnya di kelas pada saat praktek sidang tadi, dan menumpahkannya dalam outline kasar bahan debatnya esok hari.

Kali ini tentang kasus kebebasan media dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi rakyat yang semestinya dilindungi oleh Negara. Pada posisi ini, ia mendapatkan tugas untuk menjadi pengawal klien dari media swasta yang merasa haknya dibatasi dan tidak dihargai oleh pemerintah. Media Surat kabar yang bernama Al-Akhbar itu memang nyatanya banyak ditekan oleh pemerintah Lebanon. Beberapa kali media tersebut mendapatkan ancaman untuk segera gulung tikar jika masih saja memberitakan hal-hal yang menyudutkan kebijakan pemerintah.
Ia terbilang berani untuk menjadikan kasus ini sebagai objek praktek kepengacaraannya. Masih terekam dengan jelas respon dari dosen pembimbingnya saat ia bersedia untuk mengambil kasus tersebut.
“Hati-hati” itu pesan yang disampaikan kepadanya saat ia menyampaikan keinginannya. Itu baru dari dosen pembimbingnya, belum lagi dari rekan-rekannya sesama mahasiswa sejurusan.
Tapi ia tidak bergeming dengan semua itu.Ia sudah bertekad untuk menggeluti kasus ini sampai tuntas. Ia akan bersungguh-sungguh mempelajari semuanya, dan memenangkan kasus itu hingga pengadilan sesunguhnya mau menangani kasus itu.
Ia memang tidak main-main, dan tidak pernah main-main. Sekali ia mempunyai kemauan dan tekad yang kuat, tak ada yang bisa menghentikannya. Perfeksionis dan keras kepala. Ini adalah kasus perdananya. Maka ia harus sukses.
Wanita itu bernama Reema Seikaly. Berdarah Perancis-Lebanon, jelas kecantikannya sangat terlihat pada wajahnya yang sedikit lonjong dan berhidung mancung itu. Berambut hitam, ikal, sebahu, dan berkulit putih. Ya, kakeknya yang masih mempunyai keturunan dari Perancis saat Lebanon masih berada dalam jajahannya, ternyata adalah seorang bangsawan yang terhormat. Pemilik tanah di negaranya. Maka jelas, selain ia berdarah blasteran, ia juga keturunan Ningrat pada jajaran sosial di lingkungannya.
Bakat keluwesannya dalam berdialog dan berargumen, ia warisi dari ayahnya yang juga seorang pengacara swasta terkenal. Ibunya yang berdarah asli arab juga berasal dari keturunan pengusaha kaya raya. Ia hanya mempunyai seorang adik laki-laki. Dengan umurnya yang masih 20 tahun, lengkaplah sudah kehidupannya. Cantik, cerdas, kaya, dan berpendidikan.
Saat ini,ia yang tengah menjalani semester 6 di Law Faculty and political of Lebanese University, sedang menjalani jurusan yang baru di gelutinya. Menjadi pengacara, ia ingin mewarisi perjuangan Ayahnya. Nasionalis-Moderat, Itulah ideologi yang sudah tertanam dalam fikirannya dan teraplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Beruntung sekali keluarga mereka, meski hidup dalam fasilitas yang berlebih, ia dan ayahnya mempunyai idealisme yang kuat sebagai Nasionalis.
Maka seluruh fasilitas yang bergaya glamour itu tidak didapatkannya dari penghasilannya sebagai pengacara idealis yang seringnya membela hak-hak kaum teraniaya. Tapi dari kekayaan mendiang kakeknya yang sangat melimpah dan bruto Milyaran dari perusahaan ibunya yang datang setiap tahun.
Namun tidak pernah ada yang tahu, bahwa di balik kesempurnaan hidupnya yang terlihat secara kasat mata itu, ia mempunyai hati yang sangat rapuh. Didikan keras-lembut yang ia dapatkan dari kedua orangtuanya ternyata mempunyai efek yang dominan dalam dirinya. Tegas saat di luar, namun manja di dalam. Maka kelembutan hati inilah yang ia jadikan benteng saat menghadapi berbagai pertarungan-pertarungan ideologi yang seringkali berimpas pada pertarungan batin itu.

Pukul 02.30 Waktu Beirut.
Tak sadar ia telah lama tenggelam dalam bacaan-bacaan dan catatan-catatannya yang sudah ia tekuni dari beberapa jam sebelumnya. Hampir sebagian besar materi sudah ia pelajari. Dari UU negara yang mengatur kebebasan media, Kode Etik, Hak Berbicara, payung hukum yang bisa melindungi, data tekanan dari pemerintah, kronologi pengancaman, data redaksi Media, sampai pada batasan Negara dalam memberikan campur tangan.
Ia lirik kembali halaman pada Word di Vaionya, sudah hampir 13 Halaman. Sambil mengeratkan resleting sweater tipisnya, ia membenarkan posisi duduknya. Rasa pegal kembali menyerang lehernya. Rambut panjangnya yang terkuncir ke atas, ia lepaskan kembali untuk sedikit mengendurkan sendi-sendi di punggungnya.
Sedikit lagi, masih ada satu bab lagi yang belum ku kuasai.

Sementara itu pada jam yang sama,
Di Chekka, Lebanon.
Setelah mengambil air wudhu, ia segera membentangkan sajadahnya dan tenggelam dalam sholat malamnya. Dua rakaat, empat rakaat, enam rokaat hingga delapan rokaat. Pada pertengahan salamnya sebelum ia menunaikan witir saat menengadahkan tangan, tak tahan ia tergugu dengan sendirinya.
Ia tidak tahu pasti apa yang membuatnya begitu tersedu sedan malam itu. Apakah karena rasa bahagia ataukah justru karena rasa khawatir. Tak kuasa ia melukiskan perasaan yang saat itu tengah berkecamuk di dalam hatinya. Maka pada sekian doa yang terutas dari bibirnya, ia hanya bisa mengucapkan kata Allah… Allah… Allah…
Bayangan tadi siang di rumah Saarah AlZaghby kembali terlintas bersama linangan air mata yang masih mengalir itu. Ya, hari ini ia telah meng-khithbah wanita cantik dan sholehah itu. Sungguh tak terduga, wanita yang selama ini ia kagumi diam-diam itu ternyata mau menerima pinangannya. Wanita itu, wanita yang ia kagumi karena keiffahannya dalam menjaga pergaulan, karena kesederhanaannya dalam berpakaian, karena kecerdasannya, dan karena kecantikannya itu, mau menerima dirinya menjadi pasangan hidupnya.
Oh...siapakah aku ini, yang beruntung bisa mendapatkan bidadari semulia dia? Ia yang begitu sempurna di hadapanku. Sedangkan aku, yang beruntung hanya karena aku mendapatkan kepercayaan dari Abinya. Aku yang hanya berasal dari keluarga biasa, tak berharta, dan hanya berbekal kecerdasan saja. Sungguh malu aku bersanding dengannya. Meski rasa kagum itu tak pernah luntur setiap kali aku melihatnya, tapi tak pernah terbersit dalam fikiranku bahwa aku yang akan menjadi Qowwamnya. Rasanya masih tak layak aku menerima permintaan Abinya yang sudah dari 3 bulan yang lalu diutarakan kepadaku.
Maka Allah, aku yang lemah ini, dan tak berdaya, hanya bisa mengungkapkan rasa syukurku atas segala karunia indah-Mu ini… Terima kasih, Allah, Terima kasih… izinkan aku menjaga karuniaMu ini dengan sebaik-baiknya hingga ke akhirat nanti. Izinkan Allah… izinkan…
Pada bait terakhir doanya, tenggorokannya makin tercekat. Ia sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Sisa tangisannya ia tumpahkan pada tiga rakaat witir selanjutnya.
Di sepertiga malam itu, Malaikat menjadi saksi atas doa seorang pemuda sederhana, sholeh, cerdas, tampan dan bersahaja yang bernama Zuhair Mahfouz, dan perjuangan keras seorang pemudi cantik nan cerdas bernama Reema Seikaly.
Langit menjadi saksi, namun mereka berdua tidak tahu, suratan takdir apa yang akan menghampiri atas jawaban langit untuk mereka berdua. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar