Pages

Selasa, 17 Mei 2011

Sungguh Ada Hikmah

SUNGGUH ADA HIKMAH!
Hari ini, ia diam membeku bertopang dagu pada pagar, di ujung tembok lantai 2 sekolah, sepertii hari-hari sebelumnya. Entah apa yang dipikirkannya, entah apa yang dirasakannya. Setiap hari selalu sama, ia diam dan aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Dia adalah laki-laki yang dingin dan hanya mempunyaii sedikit teman, banyak siswa yang bilang bahwa ia jutek dan egois. Tetapi kenapa selentingan-selentingan negatif itu tidak menggangguku? Tidak mengubah perasaanku padanya?. Aku menyadari bahwa aku hanya dapat melihatnya dari jauh, mendekatinya saja rasanya tidak mungkin apalagi berharap menjadi seseorang yang disukainya, sungguh mustahil. Yang bisa aku lakukan ialah menahan agar rasa ini tidak berkembang terlalu jauh dan menyesatkan diriku sendiri. Aku tidak bisa sekenanya mengatakan suka padanya layaknya seorang ibu mengatakan sayang kepada anaknya, karena aku mempunyai hidup yang harus jauh dari hal tersebut. Selain itu aku adalah seorang gadis yang anti pacaran, bila mengatakan kalimat angker tersebut, siswa satu sekolahku bisa memasang tampang sinis kepadaku sampai kelulusan besok. Lagi pula bukan pacaran yang aku inginkan, melainkan dapat melihat senyumnya yang langka, itu saja, benar-benar langka. Hari ini memang seperti hari-hari sebelumnya.
“Rika!” kualihkan pandangan saat seseorang memanggilku dari belakang.
“Rika, dicariin Pak Bowo, tuh!” seru teman satu mejaku, Veni. Sambil membungkuk, ia mengatur nafas. Seragam OSISnya lembab terkena keringat sedang rambut lurusnya tergerai tak beraturan. Di tangannya tergenggam sebuah majalah yang aku yakini adalah hasil dari tabungannya selama seminggu.
“Emang ada apa?” tanyaku.
“Tugas Bahasa Indonesia minggu kemarin, Neng!”
“Ya ampun!” pekikku lalu segera mengambil tugas Bahasa Indonesia minggu kemarin yang belum aku kumpulkan di dalam kelas. Saat berlari keluar kelas, aku sedikit mencuri pandang ke arah pojok pagar, ia tidak ada.
Sampai di kantor guru, Pak Bowo yakni guru Bahasa Indonesiaku telah menunggu di meja kerjanya. Kerutan-kerutan di dahinya sangat jelas tersembul mengalahkan wajah tua beliau. Dadanya kembang kempis seakan sedang terserang asma, ternyata di sampingnya asap rokok mengepul dari seorang tamu, Pak Bowo anti rokok. Aku mendekat perlahan siap untuk menerima muntahan kata-kata Pak Bowo.
“Ini tanggal berapa?” tanya Pak Bowo mengawali pembicaraan.
“26, Pak!” jawabku.
“Kapan saya memberi tugas?” tanyanya.
“Tanggal 16, hari Kamis, jam pelajaran ke 4, Pak” jawabku pasrah. Aku sangat malu telah menelantarkan amanat guru yang aku idolakan itu. Apalagi Pak Bowo sangat memegang kuat prinsip tanggung jawab. Baik tanggung jawab dirinya sendiri, maupun tanggung jawab murid-muridnya. Selama 3 tahun di sekolah ini, belum kutemukan rahasia keteguhan beliau, ingin aku memilikinya.
“Dikumpulkan tanggal berapa?” tanya beliau. Aku sontak kaget.
“Tang, tanggal 20, Pak!” jawabku sambil tersenyum kecut mengingat aku terlambat masuk di kelasnya pada saat itu karena si bandel Vera mengajakku ke kantin sebelum Pak Bowo masuk kelas.
“Tanggal 20? Kenapa kamu tanggal 26?” tanya beliau kembali, kali ini setelah meneguk setengah gelas teh hangat di mejanya.
“Minggu ini banyak tugas, Pak” jawabku, lalu terdengar suara seorang pemuda tiba di sampingku.
“Maaf Pak! saya mau mengumpulkan tugas” suaranya tegas tetapi merendah.
“Kamu juga!” sembur Pak Bowo, bau mulut bapak guru berkumis ini mulai menyebar. Aku tidak dapat berkutik begitu pula pemuda itu, Pak Bowo menghela nafas panjang. Aku menoleh sedikit untuk melihat sosok siapa itu. Astaga! Itu laki-laki pendiam yang sering kupandangi, Adman.
“Kamu juga telat mengumpulkan tugas! Kalau dibiarkan Kamu-Kamu nanti jadi kebiasaan! bapak beri tugas tambahan buat Kalian berdua, cari 30 hikmah dari novel ini, masing-masing anak 15 hikmah dan nanti jelaskan alasan serta buktinya dalam novel ini, dikumpulkan satu jilid, paling lambat 4 hari lagi!” sambil beliau menyerahkan sebuah novel yang kelihatannya masih baru. Aku mengeluh, tapi kemudian tersenyum karena novel tersebut adalah novel yang dahulu ingin aku baca. Kulihat Amdan hanya diam tanpa ekspresi hingga di luar pintu kantor guru.
“Amdan, tugasnya kapan kita kerjain?” tanyaku mencoba menyairkan suasana, tetapi ia hanya pergi tidak menghiraukan. Hatiku sedikit ngilu melihatnya pergi. Sebenarnya aku berharap bisa bekerja sama dengan dia. Namun sudahlah, aku sendiri bersemangat mengerjakan tugas itu tanpanya.
Sesampainya di rumah, aku hanya mengunci diri di kamar, membaca dan membaca novel tersebut. Hanya keluar untuk sekedar makan, mandi, salat, dan kegiatan wajib lainnya. Hingga jam 10 malam, 25 hikmah telah aku tulis di selembar kertas folio untuk kemudian akan aku ketik di komputer bila telah selesai. Karena suasana di dalam kamar sangatlah panas, tidak sadar aku telah menghabiskan beberapa gelas air es untuk mendinginkan badan. Bahkan nyamuk-nyamuk yang bersarang di kamarku pun seringkali beraksi, hewan yang hanya ada di daerah tropis itu menghisap darah O ku dari petang hari hingga saat aku tidur.
Esoknya, aku menerima batunya, badanku panas dan hidungku mengeluarkan ingus, serta kepalaku pening untuk berpikir. Walaupun begitu, tetap saja aku bertekad menyelesaikan tugas tersebut. Aku ingin seperti Pak Bowo, memegang teguh prinsip tanggung jawab. Seperti istirahat saat ini, aku membaca di samping lapangan basket. Matahari menghajarku dengan panas cahayanya serta angin bersekongkol dengan tidak berhembus kencang. Tiba-tiba seseorang merenggut novel itu dari tanganku, aku terpekik lalu menatap orang tersebut, Amdan.
“Kelamaan bacanya, Loe!” celanya. Aku tidak terima lalu membalasnya.
“Tugasnya kan buat kita berdua! Udah mau aku kerjain mana waktunya cuma 4 hari, malah dibentakin! Emangnya gampang apa?!” semburku lalu batuk-batuk. Jantungku berdegup kencang saat menatapnya walau amarahku memuncak, tetapi tetap saja wajahnya dingin tidak bersahabat.
“Tugasnya kan cuma gini doang! Keburu karatan gue di sekolah bobrok kayak gini!” bentak Adman.
Ya ampun! Aku baru menyadari bahwa Adman benar-benar egois dan pemarah. Memang dia hanya murid pindahan tahun lalu, tetapi tidak seharusnya ia berkata seperti itu. Apalagi sekolah ini merupakan hasil perjuanganku mengikuti UAN dan UAS 3 tahun lalu. Darahku semakin mendidih.
“Jangan seenaknya ngomong sembarangan! kalo nggak mau ngerjain ya udah, kamu nggak usah ngerjain!” aku kemudian mengatur napas dan mengusap peluh yang menetes di kening. Wajahku pun semakin pucat dihajar panas matahari. Adman sedikit kelabakan melihatku.
“Loe sakit?” tanyanya acuh tak acuh.
“Ya, emang na pa?” jawabku ketus.
“Oke! gue mau ngambil bagian, soalnya keadaan Loe udah parah kayak gitu, biar nyingkat waktu”
“Kalo gitu, kamu tinggal cari 5 hikmah, yang laen dah aku kerjain! hasilku da di dalem novel, tinggal kamu tambahin”
“Emang ceritanya kayak apa sih? gue males mbaca” ia duduk bersila di bangku taman, sedang aku bersandar di dinding sampingku. Suasana mulai tenang dan terkendali.
“Novelnya menceritakan tentang perjuangan seorang ayah yang telah menelantarkan istri dan anaknya, untuk mengumpulkan kembali keluarganya tersebut yang telah berpencar-pencar entah kemana dengan…” aneh, aku yang sering dibuat jantungan oleh Adman dapat dengan mudah mengalirkan kata-kata itu. Bahkan pikiran dan pendapatku ikut aku tambahkan di dalamnya. Hari ini aku sungguh lega, seakan-akan semuanya tidak sia-sia, tidak mubazir, 2 tahun hidupku.
Pulang sekolah ketika aku berjalan sendiri, seseorang menabrakku dari belakang. April, siswi yang menyukai gossip mendekatiku, ia berjalan sambil tersenyum sinis lalu mengejek di sampingku.
“Deket ma Adman, ya? Katanya anti yang namanya pacaran? apalagi ma cowok jutek plus egois sedunia, mana perkataan Loe di mading kemarin?” semakin cepat kulangkahkan kaki, ia pun juga semakin cepat menyamai. Memang, tugas madingku yang dipajang bulan lalu telah begitu menyinggung siswa-siswa lain yang mayoritas mempunyai pacar. Karena tema yang aku angkat bersifat anti pacaran yang mendapat respon baik dari Pak Bowo, beliau kemudian semakin gencar menghukum siswa-siswa yang ketahuan sedang berpacaran.
“Lagian Loe sok suci! tugas hukuman gitu Loe kerjain!” cela April kemudian berjalan pergi. Ia jengkel karena aku tidak menanggapi ocehannya.
Setelah dia pergi, aku sedikit berfikir tentang kata-kata April. Bukan terpengaruh, namun menyadari betapa bodohnya diriku selama 2 tahun hanya memikirkan Adman. Buat apa melakukan hal konyol dengan memikirkan dia yang bahkan tidak pernah melihatku. Kelakuan yang merupakan asal-usul pacaran, hal yang aku benci.
Istirahat berikutnya, Adman berada di pojok pagar lantai 2, aku mendekat bermaksud menanyakan tugas dari Pak Bowo.
“Man, tugasnya udah belom?” tanyaku, ia melihatku sejenak lalu menyerahkan novel Pak Bowo dan secarik kertas di tangannya. Aku menerimanya dan timbul suatu pertanyaan yang ingin aku katakan sejak dahulu.
“Adman, tiap hari di sini emang liat apa sih?” ia hanya diam, aku lalu menunduk lesu.
“Loe nggak terpengaruh omongannya April, kan? gue liat dia berkicau kemaren” ujarnya. Aku kaget.
“Kamu liat yang kemarin, ya? Kalo terpengaruh omongannya sih nggak bakal” ujarku tersenyum.
“Seperti api makan lalang kering, tiada dapat dipadamkan lagi” lanjutku.
“Jauh panggang dari api” ucapnya ketus.
“Kalau tak ada api, masakan tak ada asap” semburku.
“Jadi Loe merasa bersalah?” tanyanya.
“Ayam berunduk, sirih berjunjung!” ujarku sambil tersenyum.
“Dibalik-balik bagai memanggang! Tapi gue suka sifat anti-pacaran Loe, karna memang ada hal yang lebih menarik dan lebih bermanfaat daripada pacaran” katanya masih dingin.
“Emang menurutmu apa sih?” aku penasaran dengan pendapat si misterius ini.
“Suatu hari Loe juga tahu” katanya. Kami pun terdiam.
“Sebenernya gue di sini cuma suka aja, nggak da alasan laen, tapi gue heran, Loe sempet-sempetnya mikirin cinta saat demo anti-pacaran Loe melanda, gue lebih setuju rasa penasaran Loe ma prinsip tanggung jawabnya Pak Bowo” lanjutnya, aku sontak kaget.
“Kok kamu bisa tau?” entah semerah apa mukaku sekarang.
“Dari Blog Loe, sering gue buka Blog Loe, aneh-aneh isinya, masalah cewek” tutupnya lalu pergi.
Aku hanya diam melongo di tempat. Jika dia tahu Blogku, berarti dia tahu laki-laki yang aku pandangi… Andai aku di ujung dunia, andai aku di Mount Everest, akan aku ciptakan ini dalam bentuk senyata-nyatanya, TIDAK!!!
Hari ini Adman sangat berbeda, wajahnya berseri-seri setelah mengumpulkan tugas dari Pak Bowo di kantor guru, tidak cuek dan sering menyapa teman dengan senyuman. Terkesan bahwa ia tidak mahir tersenyum, terlihat dari berubahnya wajah secara 180¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬ derajat. Walaupun bila dilihat dan dinalar, seorang pemuda yang beraura mistik tiba-tiba tersenyum malah menciptakan efek lebih menyeramkan. Entah apa yang dibicarakannya dengan Pak Bowo tadi setelah aku pergi, aku tidak tahu. Namun aku senang, senyumannya tampak manis.
Pulang sekolah, Adman mendekatiku sambil menenteng tas hitamnya.
“Rika! lihatlah hikmahnya!” ujarnya lalu berlari.
“Apa maksudmu?” aku berteriak dan mengejarnya. Di depan sekolah, ia menyeberangi jalan raya dan berdiri menghadap padaku kemudian meneriakkan sesuatu.
“Rika! terima kasih!” senyumnya berkembang, sebuah senyuman yang konyol.
“Buat apa?” balasku berteriak di seberang jalan.
“Trima kasih buat Loe telat ngumpulin tugas bahasa!” ia tersenyum kembali dan menaiki mobil jemputannya yang lalu melaju perlahan meninggalkanku.
Hari berikutnya, aku baru mengerti apa yang dimaksud oleh Adman. Kemarin, ia pindah ke Bandung dan telah aku membantunya mendapat bekal yang mengubah sikap egois dan pemarah dirinya. Di samping lain, ia juga menemukan jawaban dari semua pertanyaan hidupku dari pembicaraannya dengan Pak Bowo. . Berkat tanggung jawab, aku berteman dengan dengan Adman tanpa harus pacaran. Berkat tangggung jawab, Adman mendapat semangat hidup setelah berbicara dengan Pak Bowo. Berkat tanggung jawab, aku tahu rahasia keteguhan prinsip Pak Bowo. Berkat tanggung jawab, aku melihat senyum Adman tanpa harus menjadi seorang badut Ancol. Aku yakin ini salah satu contoh yang dimaksud Adman lebik menarik dan lebih bermanfaat dari pacaran, yakni sebuah perjuangan yang menghasilkan jawaban dari pertanyaan hidup. Dan itulah rahasia prinsip yang diyakini Pak Bowo. Harus kuakui, Bapak Guru satu ini benar-benar jenius, tanpa perlu hukuman menyapu ruangan, ia dapat menguasai perasaan murid-muridnya.
Andai aku tidak bertanggung jawab atas pernyataan anti-pacaran di madingku bulan lalu, serta aku tidak mengerjakan tugas dari Pak Bowo, pasti semua ini tidak aku dan Adman dapatkan. Kulihat lagi pojok pagar lantai 2 dimana ia biasa berdiri bertopang dagu entah memikirkan apa, entah merasakan apa kosong. Sedikit senyum aku selipkan di bibir dan perlahan terdengar suara Utada Hikaru mengalun lembut dalam ruang pikirku.
Arigatou to kimi ni iwareru to nandaka setsunai
Sayounara no ato no tokeno mahou awaku horonigai
The Flavor of Life
END
Karya : ROS DWI ARMIYANTI

0 komentar:

Posting Komentar