Pages

Selasa, 17 Mei 2011

LUNA

Penulis: Gusrianto
1
Namaku Luna. Lengkapnya Putri Luna Andam Dewi. Cantik bukan? Tentu saja, karena aku juga terlahir dari seorang mama yang cantik serta papa yang kaya. Sempurna, mungkin itu yang terpikir di benak kalian. Mama cantik, papa kaya, tentu aku hidup serba berkecukupan. Bahagia. Harus kuakui, memang itulah yang terjadi padaku.
Tapi itu dulu... dulu sekali, saat mamaku masih hidup.
***
Jakarta, 07 Januari 2005
Luna mengikuti lelaki di sampingnya turun dari taksi. Setelah membayar sejumlah rupiah kepada sang supir, lelaki itu membalikkan badan. Menarik dua koper besar di kanan dan kirinya. Lalu menyuruh Luna mengikutinya.
Luna melangkah pelan ke dalam halaman begitu pagar besi yang memisahkan halaman itu dengan jalan terbuka lebar. Matanya menatap rumah mewah bertingkat dua di hadapannya. Hatinya berdecak kagum. Rumah itu terlihat begitu mewah. Dua tingkat. Taman penuh bunga berwarna-warni langsung kelihatan dari pagar depan. Ada kolam kecil di tengah-tengah taman bunga itu. Beraneka jenis anggrek mendominasi bunga-bungan di taman itu.
Sementara itu, rumah mewah bertingkat dua itu terkesan begitu angkuh. Setidaknya bagi Luna. Ini adalah rumah terindah yang pernah dilihatnya. Dua pilar beton menjulang tinggi di teras depan. Cat warna putih dan hijau menjadi warna utama rumah mewah itu.
Di sinikah aku akan tinggal? gumamnya sambil sedikit menyunggingkan senyum. Dua lesung pipit muncul di pipinya. Kakinya terus melangkah mengikuti lelaki di depannya, sementara itu matanya menyapu pandang seluruh halaman dengan leluasa.
Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu depan tidak lama setelah lelaki di depan Luna memencet bel yang terletak di samping pintu depan.
“Selamat datang, Tuan. Nyonya dan anak-anak tidak ada di rumah, mereka baru pergi sekitar setengah jam yang lalu.” Perempuan itu membungkuk penuh hormat. Luna memandang perempuan itu dari ujung rambut sampai ke kaki. Pasti ini pembantu, pikirnya.
Lelaki itu tidak menjawab. Dia melangkah masuk, Luna kembali mengikuti. Lelaki itu duduk di sofa ruang tamu, setelah meninggalkan koper yang yang tadi dibawanya di sudut ruang tamu, lalu menyuruh Luna duduk di sampingnya.
Perempuan paruh baya tadi menutup pintu depan, lalu berjalan pelan mendekati Luna dan lelaki itu. Matanya juga seperti tengah menelanjangi Luna. Siapa anak ini? tanyanya dalam hati.
“Luna, mulai sekarang inilah rumahmu. Jangan malu-malu, ini rumah Papa, berarti rumah kamu juga.”
Kaget. Perempuan itu sungguh kaget. Papa? Jadi gadis kecil cantik ini adalah anaknya?
“Hanya kita yang tinggal di sini?” Luna, gadis kecil lugu yang baru berusia 8 tahun itu bertanya. Lalu merasa seolah-olah menjadi orang paling bodoh dengan pertanyaan yang baru diajukan begitu melihat perempuan paruh baya yang tadi membukakan pintu masih berdiri tidak jauh dari mereka. Sudah pasti dia juga tinggal di sini, batin Luna.
“Tidak, ada mamamu, istri Papa, dan empat orang saudaramu, anak-anak Papa yang lainnya. Satu orang perempuan, tiga orang laki-laki. Dan tentu saja Bik Nah dan suaminya, Mas Paijo.”
Luna mengangguk-angguk.
”Tuan, mau minum apa? Sepertinya gadis kecil ini terlihat lelah.” Bik Nah, perempuan paruh baya tadi berkata.
”Jus jeruk saja. Ingat, es-nya jangan terlalu banyak. Oh ya, Luna, sekarang mari kita lihat kamarmu, sebaiknya kamu beristirahat dulu, kamu sepertinya sangat capek.” Mereka berdua melangkah ke lantai atas setelah sebelumnya lelaki itu menyuruh Bik Nah agar mengantarkan minuman ke kamar atas.
***
Jakarta, 22 Maret 2005
Luna meringis menahan sakit saat perempuan itu menjambak kasar rambut panjangnya. Entah apa lagi kesalahan yang telah diperbuatnya, sepertinya dia sudah mengerjakan semua yang tadi diperintahkan Mama Anita. Tapi memang selalu begini. Pekerjaan yang dilakukannya tidak pernah dianggap becus oleh Mama Anita.
“Ampun, Ma… sakit!” Luna meringis.
Seperti biasa, ringisan itu tidak ada artinya. Perempuan itu semakin memperkuat jambakannya pada rambut hitam tebal Luna.
“Mama? Eh, Bocah Tengik, sudah berapa kali kubilang, aku bukan mamamu…!”
Luna kembali meringis. Jika rambutnya tidak segera bebas dari jambakan itu, maka sebentar lagi rambutnya pasti akan lepas dari kulit kepalanya. Jambakan itu sangat kuat. Dia tahu, perempuan itu bukan mamanya. Ibunya memang telah meninggal dunia, demam berdarah, begitu dokter memvonisnya. Tapi Papa selalu mewanti-wanti agar dia memanggil perempuan yang kini tengah menjambak rambutnya itiu dengan sebutan Mama. Dan itu hanya terjadi di saat Papa ada di rumah. Jika tidak, dia harus memanggil Mama Anita dengan panggilan Nyonya.
“Iya, Ma…eh, maksud saya Nyonya, tapi… lepaskan dulu… rambut saya, sakit…”
Dengan kasar perempuan itu melepas jambakannya.
“Saya suruh kamu mengepel seluruh rumah sampai bersih….”
“Sudah saya lakukan, Nyonya…” Luna menunduk, tidak sanggup menatap bola mata perempuan itu yang seakan mau menyembul keluar.
Dengan kasar tangannya kemudian menarik Luna menuju teras depan. Dan alangkah kagetnya Luna, teras itu sekarang sangat kotor, bekas telapak sepatu berlumpur bertebaran di mana-mana. Padahal belum sampai setengah jam yang lalu teras itu dibersihkannya.
Luna melirik ke sudut halaman samping. Dari balik rimbunnya bunga anggrek di dalam taman, dia melihat Kak Maya dan Bimo tersenyum penuh kemenangan, sambil tidak lupa mengedipkan mata pada Luna. Hati Luna sungguh terbakar. Tapi dia tidak sanggup berbuat apa-apa.
Pada awalnya Luna yakin kalau dia akan hidup bahagia di rumah mewah dan megah itu. Seperti kata papanya saat pertama kali dia datang dulu, Mama Anita nanti akan menyayanginya seperti ibunya dulu menyayanginya. Begitu juga dengan keempat saudara tirinya, akan menjadi teman bermain yang baik baginya. Tapi sudah lebih dua bulan dia tinggal di rumah ini, tidak ditemuinya hal seperti itu. Cerita tentang kejamnya ibu tiri dan saudara tiri yang selama ini menjadi momok menakutkan ternyata benar-benar di alaminya. Rumah idaman yang dulu selalu dibayangkannya saat Papa mengajaknya tinggal di Jakarta, ternyata tak lebih dari sebuah neraka.
Luna rindu dengan gubuk reot tempat dia dilahirkan yang sekarang entah berada di mana. Pasti berjarak ribuan kilo dari tempatnya tinggal sekarang ini.
Tiap hari dia selalu menjadi bulan-bulanan saudara-saudara tirinya. Secara bergiliran, mereka mengerjai Luna. Tendangan, tamparan dan pukulan selalu menjadi makanan harian Luna. Belum lagi siksaan yang datang dari Mama Anita yang selalu menyuruhnya menggantikan hampir seluruh pekerjaan Bik Nah.
Papanya yang hampir setiap minggu keluar kota untuk jangka waktu yang tidak sebentar tentu saja tidak tahu. Kalaupun papanya pulang, dia tidak berani buka mulut. Kubunuh kau, begitu ancaman yang didapatnya dari keempat saudara dan mama tirinya.
***
Jakarta, 12 Juli 2005
“Luna….!” Teriakan itu menggema ke seluruh ruangan. Luna yang baru saja merebahkan diri di kasur langsung berdiri. Dia kelihatan sangat capek. Dua ember besar cucian baru saja selesai dijemurnya, dan itu sungguh membuat tenaganya terkuras habis.
“Luna…!” teriakan itu kembali terdengar. Lebih keras dari panggilan pertama tadi.
Luna buru-buru berlari ke luar kamar. Kalau tidak, teriakan yang jauh lebih keras akan menggema di dalam rumah itu.
“Iya, Nyonya…!” Luna menunduk di hadapan mamanya yang sedang berdiri di teras depan rumah.
“Kamu ke mana saja, hah! Coba lihat, halaman depan sangat kotor, cepat kamu sapu!”
“Sebentar lagi ya, Ma. Luna capek sekali, mau istirahat sebentar dulu.”
“Eh, malah membantah!” Seperti biasa, tangan Mama Anita langsung menjambak rambutnya. Luna menjerit tertahan.
“Berapa kali saya harus bilang, jangan pernah melawan, jangan pernah membantah. Sebentar lagi teman-teman arisan saya mau datang. Cepat kamu bersihkan rumah ini!”
“Tapi, Ma…”
Plaak… sebuah tamparan mendarat di pipi Luna. Dia menjerit.
“Papa… tolong….tolooong….!” Luna menjerit minta tolong, memanggil papanya. Dia sudah tidak tahan, setiap hari selalu diperlakukan seperti budak oleh mama tirinya. Luna bertekad untuk melawan.
“Kau pikir papamu yang tolol itu akan datang?”
“Tooolooong….. Papa…!” Luna melolong, berteriak memanggil papanya.
“Teruslah menjerit, Anak Setan… menjerit sekuat tenagamu… tapi nanti, setelah kau bersihkan halaman depan.” Mama Anita mendorong Luna hingga terjatuh. Lututnya langsung berdarah.
“Papa…. Luna gak tahan lagi….” Teriakan Luna kini sudah berubah rintihan. Perlahan dia merangkak menuju pintu depan.
“Luna… ada apa, Sayang? Mama ada apa ini?”
Siapa yang mengira, Tuan Gunawan tiba-tiba sudah muncul di hadapan mereka. Dengan cepat Luna langsung menghambur ke dalam pelukan papanya. Air matanya tidak kuasa lagi untuk dibendung. Luna menumpahkan semuanya.
Muka mama Anita pucat pasi. Tertangkap basah. Alasan apa yang harus diberikannya? Dulu, setiap kali suaminya pulang dan menemukan keanehan pada Luna, dia selalu bisa memberikan alasan.
“Tadi Luna jatuh….”
“Tangannya tersiram minyak, padahal mama udah melarang tidak usah membantu Bik Nah…”
“Biasalah Pa, tadi Luna naik sepeda tidak hati-hati…”
Berbagai alasan selalu bisa dikemukakannya saat Tuan Gunawan menanyakan ada apa dengan Luna. Tapi sekarang? Dia sendiri tidak tahu sejak kapan suaminya berdiri memperhatikan dia menyiksa Luna.
“Papa, Luna mau pergi dari sini, bawa Luna dari sini.” Tak ada lagi yang harus dikahwatirkan Luna, dia sudah siap, walaupun mama dan saudaranya nanti akan membunuhnya. “Papa, mereka semua jahat, mereka semua ingin membunuh Luna.”
Dengan nafas terengah dan tangan memegang lututnya yang berdarah, Luna menceritakan semuanya pada Tuan Gunawan. Semua penderitaan yang ditimpakan Mama Anita dan keempat saudara tirinya selama dia tinggal di rumah ini.

***

2
Nyonya Anita menerobos pintu rumah mereka dengan emosi yang meluap. Ia bawa keempat anaknya; Maya, Bimo, Charlie, dan Derry. Tuan Gunawan menyusul dan berusaha menghentikan Nyona Anita agar jangan pergi dari rumah.
Luna, gadis kecil lugu yang bernasib malang memperhatikan itu semua dari jendela kamarnya di lantai dua.
"Anita, kita bisa selesaikan masalah kita." Gunawan berkata.
"Aku tak bisa, jika kau masih ingin bersamaku maka buang anak itu! Aku tak pernah menginginkannya!" seru Anita sambil melemparkan koper dan tas ke dalam bagasi mobilnya.
"Anita! Kau sama sekali tidak punya perasaan! Anak itu tidak punya siapa-siapa lagi selain aku!" seru Gunawan mulai emosi.
"Aku? Aku tidak punya perasaan? Carilah cermin dan tanyakan dirimu sendiri! Kau berselingkuh di luar sana, membawa anak harammu ke rumah ini, itukah yang namanya punya perasaan? Kau membawa anak hasil hubunganmu dengan peremapuan lain ke rumah ini, kau pikir itu tidak menyakitkan bagiku?"
Anita menyuruh keempat anaknya masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya dengan kuat, lalu segera melarikan mobil itu ke jalanan, Gunawan tak bisa berbuat apa-apa. Dia sadar. Dia salah. Dia bisa merasakan sakit yang dirasakan Anita. Tapi membuang Luna...
Gunawan masih terus memperhatikan mobil yang membawa istri dan keempat anaknya itu hingga hilang di tikungan. Lalu melirik ke lantai atas, memandang ke arah Luna yang juga tengah memandangnya.
Pikiran Gunawan melayang pada kejadian delapan tahun silam.

Saat itu, Gunawan diperintahkan atasannya untuk mencari sebuah tempat yang mempunyai prospek bagus untuk membangun sebuah hotel di daerah Sumatera Barat. Gunawan akhirnya sampai di daerah Maninjau.
Dia bekerja pada seorang pengusaha real estate yang paling berpengaruh di Indonesia. Sudah lebih dari separuh propinsi yang ada di Indonesia di singgahi Gunawan, dan di tahun 1996 itu, Sumatera Barat menjadi tempat mereka untuk mengembangkan usaha selanjutnya. Setelah melakukan survey, Gunawan akhirnya memilih Maninjau, yang mempunyai potensi wisata yang cukup terkenal, karena daerah itu di apit oleh dua lokasi yang cukup terkenal di ranah Minang, Gunung Singgalang yang tinggi menjulang dan Danau Maninjau yang luas terhampar.
Singkat cerita, di Maninjau dia mengenal seorang gadis bernama Fatma. Perkenalan singkat itulah yang akhirnya menyebabkan Luna lahir ke dunia. Gunawan tahu dia khilaf. Gunawan menyesal telah membohongi Anita. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sadar telah berbuat kesalahan. Dia menikahi Fatma tanpa mendapat restu dari Anita.
Tidak lama usia pernikahan itu. Saat Luna berusia delapan tahun, demam berdarah akhirnya merenggut nyawa Fatma. Itulah yang menyebabkan Gunawan pada akhirnya membawa Luna ke Jakarta.
Dan kini, petaka yang tidak diinginkannya terjadi. Anita menyuruhnya memilih Luna atau dirinya. Bagaikan memakan buah simalakama. Gunawan sangat mencintai Anita, tapi menyingkirkan Luna, juga bukan kehendaknya.
***
Maninjau, Sumatera Barat, Juli 2010
Luna membuka matanya dengan malas. Sebenarnya dia sudah bangun dari tadi namun ia terlalu malas untuk meninggalkan ranjangnya yang empuk lagi nyaman. Dan ia yakin, bila ia turun nanti ia akan di hadiahi berbagai macam tatapan marah dan kesal dari abang-abang dan kakaknya karena bangun sesiang ini.
Luna memakai sandal rumahnya, meninggalkan kamar lalu menuju ruang makan untuk mengambil jatah sarapannya.
”Selamat pagi, semua...” Luna menyapa, hanya basa-basi, sebab Papa ada di meja makan.
Derry, yang usianya setahun lebih muda dari Luna, sedang asyik dengan komik-komik Jepangnya. Begitu Luna datang, sesaat dia mengalihkan matanya hanya untuk sekedar melotot ke arah Luna, kemudian melanjutkan kegiatannya membaca, dia memang kutu buku. Seolah-olah berbuat iseng pada Luna adalah sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan.
Charlie yang usianya hanya satu tahun di atas Luna mendelik seram ke arah Luna saat dia menuruni anak tangga. Luna hanya mendengus sebal. Itu adalah makanan hariannya.
Bimo, yang kini berusia enam belas tahun hanya menggelengkan kepala dengan sebal saat Luna menoleh kepadanya. Entah apa yang digelengkannya, mungkin karena Luna bangun terlalu kesiangan. Apapun itu, Luna tak akan peduli sedikit pun. Dia berhak melakukan apapun yang dia suka.
Berbeda dengan Maya, kakak mereka yang tertua, ia menjulurkan kepalanya dari balik pintu dapur dengan senyum ceria dan menjawab salam Luna. Mungkin hanya dia satu-satunya kakak yang paling lembut dan perhatian padanya, namun bagaimanapun juga Luna tetap membencinya, sama bencinya terhadap kakak-kakaknya yang lain. Tak akan pernah dilupakannya perlakuan mereka padanya saat masih di Jakarta dulu. Bahkan saat Mama Anita masih hidup, Maya adalah orang terkejam kedua yang tidak pernah alpa menimpakan kesalahan dan hukuman padanya. Luna tidak akan pernah lupa setiap detail perlakuan menyakitkan yang dulu mereka berikan padanya. Jadi bagaimanapun baiknya Maya sekarang, tidak akan bisa meredam dendam lama itu.
Luna kemudian duduk di samping papanya, pria paruh baya itu dengan tenang menyantap sarapannya, nasi goreng spesial buatan Bik Nah yang dipadu dengan segelas susu hangat memang hal yang sayang untuk dilewatkan. Luna tersenyum menatap papanya dan berbisik pelan...
"Pagi, Papa…" Papanya hanya mengangguk pelan tanpa suara. Melanjutkan menyuap sisa-sisa sarapannya.
***
Luna sudah rapi dengan mantel dan sepatu ketsnya, ia kemudian pergi ke garasi untuk mengambil sepeda gunungnya. Luna biasa mengitari kawasan rumahnya yang terletak di pinggiran hutan itu setiap paginya. Tidak hanya menghirup segarnya udara pegunungan, tapi juga menikmati panorama air danau yang terletak tak jauh dari rumahnya.
Langkah Luna terhenti seketika saat melihat Bimo yang sedang berkutat membersihkan sepeda gunungnya, pria muda berambut pirang itu langsung menoleh begitu menyadari Luna sedang menuju ke garasi.
"Hendak ke mana kau, Bocah Tengik?" tanya Bimo kasar. Selalu begitu. Bimo selalu memanggilnya bocah tengik, padahal sekarang dia sudah berumur tiga belas tahun. Seorang gadis remaja yang tentu saja tidak pantas dipanggil bocah.
Di antara semua saudara tirinya, Bimo memang yang paling dibenci Luna. Dia tidak pernah ramah dengan kakaknya yang satu ini, hormat pun tidak akan. Ia ingat betul bagaimana kejamnya Bimo pada dirinya sejak lima tahun lalu. Bimo gemar sekali menyiksanya, mempermalukannya, serta membuat hidupnya sama sekali tidak tenang.
Tapi tidak sekarang, Luna sudah bertekad, di usianya yang sudah menginjak tiga belas tahun, tidak ada lagi yang boleh menyakitinya. Bahkan, inilah saatnya dia untuk membalaskan semua rasa sakit hatinya. Inilah saatnya dia membalaskan dendamnya. Di Jakarta, dia memang selalu mengalah, tapi tidak di sini, di sini adalah kampung tempat dia dilahirkan, tanah tumpah darahnya, seluruh kekuatan alam akan berpihak padanya.
"Bukan urusanmu!" Luna langsung menggenjot sepeda gunungnya dan meluncur melewati pagar rumah, menikmati sapuan angin lembut membelai wajahnya dan wangi hutan pinus yang tidak pernah ditemuinya di kota gersang bernama Jakarta.
Luna bersenandung dengan lirih. Hal paling disukainya adalah saat menikmati keindahan alam seperti ini dan tidak ada satu orangpun yang mengganggu.
"Hei, Luna!" Bimo rupanya menyusul di belakang, membuat Luna tersentak kaget. Bimo menyeringai seram kepadanya. Lalu tanpa merasa takut akan terjatuh, dia menabrakkan sepedanya pada sepeda Luna.
Braaak!
Tubuh kecil Luna terhempas ke pinggir jalan, sepedanya jatuh menimpa tubuhnya. Darah segar mengucur dari lutut dan tangannya. Bimo turun dari sepedanya, berbalik menghampiri Luna yang sedang meringis kesakitan.
Mau menolong? Tentu saja bukan.
"Luna, kau harusnya tidak ada di antara kami. Kau yang menyebabkan kematian Mama, kau yang membuat keluarga kami porak poranda. Jangan harap kau akan menang, baik di sini, maupun di Jakarta, akan jadi neraka buatmu.” Usai berkata, Bimo berlalu dari hadapan Luna.
Luna memandang penuh amarah. Gigi-giginya saling beradu penuh kegeraman. Coba saja, kita akan buktikan Bimo, aku bukan Luna kecil lagi. Luna berdiri sambil meringis, lalu menggenjot sepedanya dengan susah payah. Pulang.
***
Tuan Gunawan yang sedang serius menonton berita televisi di ruang tengah terkejut melihat Luna datang dengan tubuh kotor dan penuh luka.
"Kau terjatuh? Atau berkelahi? Siapa yang melakukan ini?" Dia menuntun Luna duduk bersamanya di sofa dan kemudian berlari menuju lemari di ruang tengah, mengambil kotak P3K.
"Bimo, dia selalu jahat padaku." Luna menjawab pelan.
Tuan Gunawan termenung sesaat, kemudian kembali duduk di sofa itu dan membersihkan luka Luna dengan pelan. Bimo? Dia menyebut nama itu dalam hati.
"Luna, kakakmu tidak mungkin melakukan ini."
"Tapi itulah yang terjadi. Dia yang melakukan ini padaku, Papa! Lihat sekarang tubuhku penuh luka!" Luna melepaskan pegangan tangan papanya. “Mengapa Papa selalu tidak percaya? Kurang bukti apalagi sehingga Papa baru percaya kalau semua saudaraku sangat membenciku dan selalu ingin menyiksaku?” Luna berlari ke lantai atas, mencoba melupakan rasa sakit di kakinya. Membanting pintu kamarnya. Papanya hanya menatap prihatin.
Sampai kapan dia akan bersikap seperti ini? batinnya dalam hati.
***

0 komentar:

Posting Komentar